DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH?
Sumber Majalah Forum Keadilan,
Perkembanagan ekonomi syariah di Indonesia sudah sanggat pesat,
perkembangan ekonomi syariah ini menjalar kepada Bank-bank ternama,
misalnya yang tadinya Bank-bank ini tidak menggunakan sistem syariah,
mulai berduyung-duyung untuk mengunakan sistem tersebut sepertihalnya
Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Mandiri Syariah, dan banyak lainnya,
hal ini berimplikasi hukum apabila terjadi sengketa diantara nasabah
dan Bank, yang nantinya dihadapkan dengan pertanyaan persoalan sengkeya
ekonomi syariah ini dibawah kemekanisme hukum yang mana? MUI pernah
mengeluarkan fatwa dibidang ekonomi syaria’ah yang menyatakan “Apabila
ada sengketa dibidang ekonomi syariah penyelesaiannya dibawa ke Badan
Arbitrase Syariah Nasional atau Basyarnas.
Berkaitan dengan fatwa MUI itu, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang dulunya hanya berwenang menangani kasus-kasus hukum keluarga
seperti nikah, waris/washiat dan wakaf, setelah direfisi menjadi UU No 3
tahun 2006 Peradilan Agama mempunyai kewenangan meluas ke wilayah
ekonomi syariah, Pasal 49 dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
Bank syariah, Lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah,
reasurasi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan
syari’ah, Pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
bisnis syari’ah. Oleh karenanya dalam pasal 46 i mengatakan bahwa
Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan memutus dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama diantara orang Islam di bidang ekonomi
syari`ah.
Adanya, fatwa MUI dan lahirnya Arbitrase Syariah atau Basyarnas yang
lebih dulu ada dibandingkan dengan UU 3 Tahun 2006 hasil Revisi UU 7
tahun 1989, mengenai masalah penyelesaian sengketa dibidang ekonomi
syariah, tentunya akan membingungkan dan mempersulit masyarakat untuk
membawa sengketanya?
Oleh karennya. Bapak Ahmad Djauhari Sekertaris Basyarnas, menjelsakan;
Adanya persepsi mengenai dualisme pengaturan penyelesaian sengketa
dibidang ekonomi syariah itu perlu diluruskan, pertama; Bahwa untuk
menyelesaikan sengketa perdata, peraturan perundang-undangan membenarkan
dengan dua cara, pertama; Melalui peradilan yang disediakan oleh
Negara, seperti Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA), untuk PA
termasuk pengadilan khusus dengan asas personalitas keislaman, maka
peradilan agama baru pada tahun 2006 melalui UU Nomer 3 tahun 2006
mendapatkan tambahan wewenang menyelsaiakan sengketa ekonomi syariah.
Melalui UU Nomor 30 Tahun 1999 pasal 56 ayat (2) memberikan kesempatan
bagi pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya dapat mengunakan
Arbitrase, dengan catatan para pihaknya harus sepakat secara tertulis
untuk menyelesaikan sengketanya dengan sistem arbitrase, sehingga
pengadilan menjadi tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan.pilihan hukum, bisa mengunakan hukum islam, perdata barat,
hukum anglo saxon, terserah kepada para pihaknya, disitulah untuk
sengketa-sengketa ekonomi syariah wajar, logis dan katakan wajib
menyelesaiakannya dengan syaraiah pula.
Sebelum UU 3 tahun 2006, Basyarnas sudah berdiri sejak 21 Oktober 1993,
dan dulu arbitrase diatur oleh Rechtvordering pasal 615-651 tentang
sistem Arbitrase, sistem ini memang dari awal sudah memberikan pilihan
hukum, yang dirumuskan didalam pasal 56 ayat (2). Jadi adanya Pengadilan
Agama yang mendapatkan tambahan wewenang memeriksa sengketa ekonomi
syariah bukan berarti saingan buat Basyarnas, “itu hanya sebagai teman
berfikir, bahkan sebagai Fastabiqul Khoirot,” ungkap sekertaris
Basyarnas.
Dalam rangka menegakkan syaraiat Allah, kenapa dulu orang tidak
meributkan mengenai Badan Arbitrase Nasional Iindonesia (BANI), dengan
adanya Pengadilan Agama yang mempuyai kewenangan, memeriksa dan
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, kemudian itu dijadikan saingan
bagi Basyarnas, ini tidak adil kalau ada fikiran semacam itu. Makanya
Bagi para pelaku bisnis, perlu mengetahui perbedaan yang sanggat
signifikan dalam menyelesaiakan sengketa lewat Arbitrase, misalanya
proses persidangan di Basyarnas yang sederhana, tertutup untuk umum,
rahasia-rahasia dagang tidak diobral keluar, simpel tidak terlalu
formalitas seperti di PN maupun PA, kemudian di Basyarnas selalu
mengutamakan penyelesaian dengan prisnsip islah (Mendamaikan) itu
prinsip yang diutamakan,
Mengenai putusan Basyarnas, itu bersifat final dan mengikat, sementara
putusan PN ataupun PA tidak, karena masih ada upaya hukum seperti;
Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, dari segi efesiensi penyelesaian
sengketa melalui Arbitrase paling lama 180 hari sudah harus putus, dan
dari segi ekonomi bisa dihitung sendiri. Untuk hal apabila pihak yang
kalah tidak melaksanakan dengan sukarela, putusan Basyarnas dapat
dimohonkan ke Penadilan sesuai dengan surat ederan Mahkamh Agung Nomor 8
tahun 2008 menetapkan “putusan Arbitrase Syariah pelaksanaan
eksekusinya melalui Peradilan Agama.”
Bapak Ahmad Djauhari menjelsakan, kenapa DSN (Dewan Syariah Nasioanal)
membuat fatwa dibidang ekonomi sayariah? Wajar karena MUI tentu inggin
mengarahkan penyelesaian sengketa orang islam juga secara syar’i, tidak
boleh MUI menjerumuskan para pelaku ekonomi ketempat lain, ”Kalau anda
ada sengketa, silakan anda ke Basyarnas saja,” karena itu lebih efesien
dari segi waktu dan sebagainya. Dan tidak hanya saja penyelesain sengkta
melalui basyarnas ini dinikmati oleh para orang islan, non muslimpun
bisa dengan prisnsip asas kebebasan berkontrak, artinya orang non muslim
tadi dengan sukarela menundukan dirinya kepada hukum atau syariat
islam, jadi disini berlaku teori penundukan diri terhadap hukum.
Rahayu Hartini, S.H, M.SI., M.Hum Dosen FH UMM, yang sedang menempuh
Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Airlangga. Mempunyai pandangan
tersendiri, saya melihatnya ada pertentangan mengenai fatwa MUI
tersebut, karena dalam Pasal 49 huruf i UU No.3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama disebutkan bahwa penyelesaian sengketa di bidang ekonomi
syariah adalah merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Seyogyanya MUI
dalam mengeluarkan Fatwanya, khususnya terkait dengan penyelesaian
sengketa di bidang ekonomi syariah, setelah UU No. 3 Tahun 2006 disahkan
merujuk kepada UU tersebut. Bukan malah mengeluarkan fatwa setelah tiga
hari UU tersebut disahkan, MUI mengeluarkan ada empat fatwa yang isinya
bila ada sengketa ekonomi syariah dibawa ke Basyarnas. Karena untuk
membawa sengketa syariah ke Basyarnas syaratnya harus ada “aqad” yang
memperjanjikan untuk itu, hal ini mengacu pada ketentuan UU No. 30 tahun
1999 tentang APS dan Arbitrase.
Adanya dualisme kewenangan, antara Peradilan Agama sebagaimana
ditentukan oleh UU No. 3 Tahun 2006 khususnya Pasal 49 huruf i, bahkan
juga menjadi kewenangan Peradilan Umum seperti yang diatur dalam
penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, bila itu menyangkut sengketa terkait dengan bank syariah,
demikian juga dengan Fatwa MUI yang menyatakan diselesaikan ke
Basyarnas. sehingga ke tiga UU tersebut yang mengatur kewenangan
penyelesaian sengketa, tidak sinkron, sehingga harmonisasi perlu segera
dilakukan agar tidak terjadi dualisme kewenangan lagi.
Logika hukumnya, apabila ada sengketa, harus dilihat apakah ada ”aqad
yang isinya memperjanjikan, bila ada sengketa di selesaikan melalui
Basyarnas atau tidak?” Bila dalam aqadnya menunjuk Basyarnas, maka para
pihak harus mematuhi ”aqad yang telah dibuat dan disepakati.” Tetapi
apabila ”tidak ada aqad yang demikian” maka para pihak bisa membawanya
ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa tersebut berdasarkan
ketentuan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 jo. Pasal 55 Ayat (1)
UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Prinsipnya demikian,
Terhadap UU No. 21 Tahun 2008 ini juga masih perlu dikaji lagi,
khususnya Pasal 55 Ayat (2). Dalam penjelasannya justru tidak membuat
Ayat (2) tersebut menjadi jelas tetapi malah rancu, ambigu, terjadi
dualisme kewenangan dalam penyelesaian sengketa khususnya perbankan
syariah antara Pengadilan Agama (Pasal 49 huruf (i) UU No 3 Tahun 2006
dengan Peradilan Umum / Pengadilan Negeri (penjelasan Pasal 55 Ayat (2)
huruf (d) UU No. 21 Tahun 2008.
Jadi memang pada prinsipnya penyelesaian sengketa melalui Basyarnas,
harus didahului adanya suatu perjanjian terlebih dahulu yang disebut
dengan ”klausul arbitrase”. Perjanjian tersebut bisa dibuat sejak awal
mereka mengadakan hubungan hukum (acta compromi) atau baru disepakati
ketika terjadi sengketa diantara para pihak (pactum de compromittendo).
Penyelesaian sengketa di Basyarnas adalah merupakan penyelesaian
sengketa secara non litigasi. Sementara penyelesaian sengketa di PA
adalah secara legal formal-litigasi. Keduanya sebenarnya tidak jauh
berbeda dalam proses beracaranya maupun putusannya, karena mempunyai
kekuatan hukum yang sama, sebab keduanyapun menggunakan irah-irah
putusan ”Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.”
Prinsip arbitrase yang sekaligus merupakan kelebihan arbitrase antara
lain; lebih Efisien dibandingkan badan-badan peradilan umum, efisien
dalam hubungannya dengan waktu dan biaya murah, Final and Binding, lebih
privat, terjaga rahasianya, sehingga credibilitas masyarakat tetap
terjaga, dalam dunia bisnis ”kepercayaan (trust),” ini merupakan salah
satu ”goodwill” atau aset yang cukup diperhitungkan. Kembali Ibu Rahyu
menjelasakan “dalam kondisi seperti sekarang ini, saya lebih setuju
menggunakan lembaga arbitrase,” selain sifat yang dimiliki seperti
diatas, juga untuk mengurangi penumpukan perkara yang demikian besar di
MA, serta ”kurang percayanya,” para pelaku bisnis (terlebih
Internasional) pada lembaga peradilan kita, maka ini, sebenarnya
merupakan peluang besar untuk ”menumbuh suburkan dan memberikan
kepercayaan kepada lembaga arbitrase.
Hal ini tentunya juga perlu adanya konsistensi dalam pelaksanaan dan
dukungan dari berbagai pihak; termasuk pemerintah. Siapapun harus
menghormati dan mau melaksanakan dengan sukarela apa yang telah
diputuskan oleh lembaga arbitrase yang ditunjuk oleh para pihak itu
sendiri, karena adanya ”kesepakatan/perjanjian”. Dalam agama apapun
”Janji’ adalah utang yang harus dibayar/harus ditepati. Ini juga
merupakan suatu prinsip hukum yang bersifat universal, ”pacta sunt
servanda”.
dimuat dalam majalah Forum Keadilan