29 Des 2012

Faraid

A. Pengertian Ilmu Faraidh



kata fara'id (الفرائض) menurut bahasa merupakan bentuk jama' dari kata faridah (الفريضة). Kata ini berasal dari kata fardu (الفرض) yang mempunyai arti cukup banyak. Oleh para ulama, kata fara'id diartikan sebagai al-mafrudah(المفروضة) yang berarti al-muqaddarah (المقدّرة), bagian-bagian yang telah ditentukan. Dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan.

Sedangkan secara terminology maka para ulama memberikan beberapa definisi:

Menurut as-Syaikh Muhammad al-Khatib al-Syarbini:

الفقه المتعلق بالارث ومعرفة الحساب الموصل إلى معرفة ذلك ومعرفة قدر الواجب من التركة لكل ذى حقّ (مغنى المحتاج,3:3 )

"Ilmu fiqh yang berpautan dengan pembagian harta warisan dan pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta warisan tersebut dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta warisari bagi semua pihak yang mempunyai hak".

Menurut Wahbah az-Zuhaily:

قواعد فقهية وحسابية يعرف بها نصيب كل وارث من التركة (الفقه الاسلامى وادلته, 8: 243 )

"Kaidah-kaidah fiqh dan perhitungan yang dengannya dapat diketahui bagian semua ahli waris dari harta peninggalan".

Prof. Hasbi dalam bukunya Fiqhul Mawaris, hlm. 18 mendefiniskan:

قواعد من الفقه والحساب يعرف بها ما يخصّ كلّ ذى حقّ فى التركة ونصيب كلّ وارث منها

Dari rumusan di atas dapat dibuat rumusan Fiqh Mawaris/Hukum Kewarisan, yaitu: "Aturan hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia, siapa saja yang mempunyai hak atas peninggalan tersebut, siapa saja ahli waris dan berapa bagiannya".

B. Urgensi dan Kedudukan Ilmu Waris Dalam Islam

Ilmu waris mempunyai kedudukan yang tinggi dalam islam, hal ini di dasarkan atas adanya beberapa hadist rasulullah yang menunjukkan hal tersebut.



Dari Ibnu Mas'ud, dia berkata: Telah bersabda Rosululloh saw: "Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada manusia. Pelajarilah Faroidh dan ajarkanlah kepada manusia. Karena aku adalah orang yang akan mati, sedang ilmupun akan diangkat. Hampir saja dua orang berselisih tentang pembagian warisan dan masalahnya tidak menemukan sseorang yang memberitahukannya kepadakeduanya"(HR Ahmad).

Dari 'Abdulloh bin 'Amr, bahwa Rosululloh saw bersabda: "Ilmu itu ada tiga macam, dan selain dari yang tiga itu adalah tambahan. (Yang tiga itu ialah) ayat yang jelas, sunnah yang datang dari nabi, dan faroidhlah yang adil". (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Dari Abu Hurairoh, bahwa Nabi saw bersabda: "Pelajarilah Faroidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena Faroidh adalah separuh dari ilmu dan akan dilupakan. Faroidhlah ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku". (HR Ibnu Majah dan Ad-Daroquthni).

Allah SWT juga telah mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai dengan petunjuk dan ketetapan-Nya. Mereka yang secara sengaja melanggar dan tidak mengindahkan ketentuan Allah ini, maka Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka. Tidak hanya itu, tetapi dengan tambahan bahwa keberadaan mereka itu kekal abadi selamanya di dalam neraka. Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis siksaan yang menghinakan.

Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam Al-Quran Al-Kariem. Surat An-Nisaa’ ayat 14

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (An-Nisaa’:14)

Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api neraka.

C. Hukum Waris Sebelum Islam

Hukum kewarisan sebelum islam sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat jahiliyyah. Orang-orang arab jahiliyah adalah tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan berperang, nomaden (pindah-pindah). Ciri-ciri tersebut merupakan kultur yang mapan. Karena itu budaya tersebut ikut membentuk niali-nilai, system hukum dan sistem sosial yang berlaku. sehingga kekuatan fisik pun menjadi salah satu ukuran di dalam system hukum kewarisannya.

Kehidupan mereka sedikit banyak tergantung pada hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsa bangsa yang telah mereka taklukkan, disamping ada juga yang tergantung dari hasil memperniagakan rempah rempah. Dalam bidang mu’ammalah dan pembagian harta pusaka, mereka berpegan teguh kepada tradisi-tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang telah diwarisi dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak anak yang belum dewasa dan perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia. Tradisi menganggap bahwa anak anak yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris. Bahkan sebagian dari mereka beranggapan bahwa janda perempuan dari seseorang yang telah meninggal adalah sebagai wujud harta peninggalan yang dapat dipusakakan dan dipusakai kepada dan oleh ahli waris suaminya.

Banyak sekali riwayat dari para Sahabat yang menceritakan hal itu. Salah satunya adalah Ibnu Abi Thalhah, misalnya mengutip suatu riwayat Ibnu ‘Abbas r.a yang menjelaskan ”bila terjadi seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya dimuka perempuan tersebut, (atas tindakan ini). Maka ia melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut cantik terus dikawininya dan jika jelek ditahannya sampai meninggal dunia untuk kemudian dipusakai harta peninggalannya.

Sebagai bukti bahwa tradisi mewarisi janda simati itu betul-betul terjadi pada zaman jahiliyah ialah tindakan seorang yang bernama Mihsham bin Abu Qais al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia, ia berhasrat mengawini janda ayahnya yang tidak diurus belanjanya. Atas desakan dari calon suaminya yang baru, janda tersebut meminta izin kepada Rasulullah agar diperkenankan berkawin dengan Mihsham.

Disaat itu Rasulullah s.a.w. belum dapat memberikan jawaban spontan. Baru beberapa saat kemudian setelah Allah menurunkan ayat: 19 dari surah An Nisaa’



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا........

“Hai orang orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita

wanita (janda-janda simati) dengan cara paksaan”



Ayat diatas tidak bisa dipahami bahwa mewarisi janda-janda dengan jalan bukan paksaan diperbolehkan. Dalam kaitan ini Allah memberikan penegasan

dalam surah An Nisa’ ayat 22:

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا



“Dan janganlah kamu kawini wanita wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah, dan seburuk buruk jalan (yang ditempuh).”

Akhirnya hasrat Mihsham untuk mengawini janda ayahnya dilarang oleh

Rasulullah setelah menerima wahyu dari Allah, merupakan suatu bukti bahwa

tradisi semacam itu sudah biasa dilakukan oleh orang jahiliyah sebelum datangnya agama islam. Adapun penundaan Rasulullah sampai saat turunnya wahyu yang melarangnya, disebabkan adat tersebut sudah mendarah daging pada mereka sehingga memerlukan petunjuk yang tegas dari Allah.

Adapun dasar-dasar pewarisan pada zaman jahiliyah atau sebelum islam ialah sebagai berikut:

1. Pertalian kerabat

2. Janji prasetia

3. Pengangkatan anak atau adopsi

Sebelumnya ada syarat khusus ialah dimana seorang pewaris atau yang mewarisi adalah laki-laki yang sudah dewasa. Selanjutnya barulah ketiga syarat tadi. Sedang laki-laki yang belum dewasa dan belum bias berperang tidak boleh mendapatkan warisan. Bergitu pula perempuan, mereka sama sekali tidak berhak mendapatkan harta warisan, bahkan mereka menjadi harta warisan.

A. Waris Pada Awal Masa Islam

Pada masa awal islam (periode makkah awal setelah nabi diutus dan awal hijrah) sebab-sebab mewarisi ada yang sama dengan zaman sebelum islam (jahiliyyah) dan ada pula yang di nashk. Yang masih dipertahankan adalah pertalian nasab atau hubungan kerabat, tetapi sudah mengalami pembaharuan yaitu hubungan darah yang dapat mewarisi tidak hanya laki-laki dewasa saja tetapi laki-laki yang belum dewasa dan perempuan pun bisa untuk mendapatkan harta warisan walaupun belum ada ketentuan yang pasti dari al-Qur’an. Yang sudah di nashk adalah karena janji setia. Di awal islam, ada tiga sebab agar mendapatkan harta warisan selain yang sudah dijelaskan diatas, yaitu:

• Tabanni (Adopsi ) atau pengangkatan anak

Saat itu, Rasulullah s.a.w. sebelum diangkat menjadi Rasul, pernah mengambil anak angkat Zaid bin Haritsah, setelah ia dibebaskan dari status perbudakannya.

Karena status anak angkat pada saat itu identik dengan status anak keturunan sendiri, para shahabat memanggilnya bukan Zaid bin Haritsah, tetapi Zaid bin Muhammad. Salim bin ‘Atabah setelah diambil anak angkat oleh shahabat Abu Hudzaifah r.a panggilannya berubah menjadi Salim bin Abi Hudzaifah. Dalam perkembangannya, masalah pengangkatan anak tidak lagi berjalan, karena islam menghapuskannya.

Selanjutnya Allah SWT berfirman dalam al-ahzab ayat 40

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. bukanlah ayah dari salah seorang sahabat, karena itu janda Zaid dapat dikawini oleh Rasulullah s.a.w.

• Hijrah dan muakhkhah

Kekuatan kaum muslimin pada saat itu masih lemah, lantaran jumlah mereka yang masih sedikit sekali. Untuk menghadapi kaum Quraisy yang sangat kuat dan banyak pengikutnya. Sehingga Rasulullah s.a.w. meminta bantuan kepada para penduduk daerah setempat yang berprinsip sama untuk berjuang dalam memberantas kemusyrikan. Setelah itu Rasulullah menerima perintah dari Allah untuk hijrah dari mekkah ke madinah. Disana Rasulullah dan para shahabat disambut dengan gembira oleh penduduk madinah dengan ditempatkan dirumah rumah mereka, dicukupi segala keperluan mereka, dilindungi jiwanya daripengejaran kaum musyrikin Quraisy dan dibantunya dalam menghadapi musuh musuh yang menyerangnya.

Dari deskripsi diatas, pada masa awal awal Islam, hukum kewarisan belum

mengalami perubahan yang berarti. Bahkan didalamnya terdapat penambahan

penambahan yang lebih berkonotasi kepentingan dakwah. Tujuannya adalah

merangsang ikatan persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam.

Pertimbanganya, kekuatan islam waktu itu, dirasakan masih sangat lemah, baik

sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan ajaran ajarannya, yang

masih dalam dinamika pertumbuhan.

Dasar dasar pewarisan yang digunakan pada masa awal islam, adalah:

• Pertalian kerabat

• Pengangkatan anak

• Hijrah (dari Mekkah ke Madinah)

• Ikatan persaudaraan atau al-muakhah antara orang orang Mujahirin

(pendatang) dengan orang orang Anshar (penolong) di Madinah

Hijrah dan muakhkhah sebagai sebab untuk mempusakai itu dibenarkan oleh

Allah dalam firmanNya surah Al-Anfal:72

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Yang dimaksud lindung melindungi Ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang Amat teguh, untuk membentuk masyarakat yang baik. demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung.

Dalam surat al-ahzab ayat 6 pun Allah SWT tegaskan



النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Allah).

Maksudnya: orang-orang mukmin itu mencintai Nabi mereka lebih dari mencintai diri mereka sendiri dalam segala urusan.

Yang dimaksud dengan berbuat baik disini ialah Berwasiat yang tidak lebih dari sepertiga harta.

Yang di maksud “lebih berhak disini” adalah “lebih berhak dalam waris

mewarisi”