Tampilkan postingan dengan label MAWARIS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAWARIS. Tampilkan semua postingan

31 Des 2012

makalah dzawil arham

Zdawil arham
Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun/rahim, dalam bahasa arab berarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'.Kemudian dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna kerabat, baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam.
secara termoinologi dzawilarham adalah setiap kerabat pewaris yang tidak termasuk ashhabul furudh dan ashabah, misalnya : bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman dari pihak ibu (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.
1.    Pendapat Imam tentang dzawil arhan
1.Golongan pertama (Zaid bin Tsabit r.a., Ibnu Abbas r.a., Imam Malik dan Imam Syafi'i). Berpendapat ; dzawil arham tidak berhak mendapat waris. dan harta warisan dilimpahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.
2.Golongan kedua  (jumhur ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal). berpendapat ; dzawil arham berhak mendapat waris, dan lebih berhak dibandingkan baitulmal,
2.    Landasan Dalil Golongan Pertama
a)tidak ada satu pun nash yang kuat. menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat waris.
b)hadits yang diriwayatkan Said bin Manshur ; bahwa Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi, baik dari garis ayah maupun dari ibu, beliau saw. menjawab, "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun.”
c)Dalam kaidah ushul fiqih ; bahwa kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi.
Landasan Dalil Golongan kedua
*ayat 75 surat al-Anfal, "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”.
*Dan ayat 7 surat an-Nisa’, "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”. ayat ini menghapus kebiasaan pada awal Islam, pada masa itu kaum muslimin saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah.

*al-Hadits ketika Tsabit bin ad-Dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab, "Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir." Kemudian Rasul memberikan harta warisan  Tsabit kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir.
*diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu Ubaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. bahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan seseorang. Dan ia tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman dari pihak ibu,. Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada Abu Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda, "(Saudara laki-laki ibu) adalah ahli waris bagi mayit yang tidak mempunyai keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya. Dia juga yang membayarkan diyatnya dan mewarisnya." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
3.    secara logika
  kerabat jauh lebih berhak daripada baitulmal. Alasannya,
#ikatan antara baitulmal dan pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam, karena pewaris seorang muslim.
#seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, mempunyai dua ikatan: ikatan Islam dan ikatan rahim.
membandingkan kedua pendapat
  pendapat jumhur ulama (kelompok kedua) lebih kuat dan akurat, karena memang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin.
  Di samping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adil apalagi jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini, yang mana sudah cukup sulit menemukan baitulmal yang benar-benar dikelola oleh jamaah, yang amanah, yang terjamin pengelolaannya, yang adil dalam memberi kepada setiap yang berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta baitulmal.
4.    Cara Pembagian Waris untuk Dzawil Arham
    Ahlur-Rahmi ; semua kerabat berhak mendapat waris secara rata.
Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.
    Ahlut-Tanzil ; mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama muta’akhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
    Ahlul Qarabah ; hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi.mazhab ini telah mengelompokkan dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Keempat golongan tersebut adalah :
A.    Keturunan mayit Orang tua mayit
B.    bernisbat kepada kedua orang tua 
C.    mayitbernisbat kepada kakek & nenek mayit
Read more »»  

29 Des 2012

mAkalah ashobah

BAB I
PENDAHULUAN

Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya pemindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewarisakan, setelah yang bersangkutan wafat kepada penerima warisan dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’.

Didalam  aturan kewarisan, ahli waris sepertalian darah dibagi menjadi tiga  golongan, yaitu: dzawil furudh, ashobah dan dzawil arham. Disini kami akan membahas tentang dzawil furudh, furudhul muqaddaroh, dan  ashobah. Untuk memberikan warisan kepada ahli waris.

Dalam Islam ada istilah mawaris, dimana mawaris ini membahas tentang kewarisan, dalam masalah mawaris ada sebagian kelompok atau ahli waris yang mendapatkan bagian pasti.
Tetapi juga ada sebagian kelompok yang tidak mendapatkan bagian pasti ataupun disebut Asabah. Dalam makalah ini kami akan mencoba memaparkan makalah ini yang berjudul Asabah.












BAB II
PEMBAHASAN


1.    Pengertian Asabah
Ashabah (‘Ashobaat nasabiyah) adalah nasab atau kerabat atau ahli waris dari si mayit yang berhak mendapatkan sisa dari harta warisan yang telah di bagikan. Jika Ashabu Furudl tidak ada maka dan hanya satu-satunya maka dia berhak menerima semua harta warisan, tetapi jika ada Ashabul Furudl maka Ashabah hanya akan mendapatkan sisa.
Asabah menurut bahasa artinya semua kerabat seorang laki-laki yang berasal dari ayah. Asal kata Asabah di ambil dari kata pepatah Arab:
اَصَا بَ القَوْ مُ بالرَّجُلِ اِذَا اجْتَمَعُوْا وَاَحاَطُوْا
Atinya:
Suatu kaum mempertahankan seseorang apabila mereka berkumpul dan memerangi untuk memelihara dan mempertahankanya.[ ]
Menurut ulama faradiyun, Asabah adalah ahli waris yang tidak mendapat bagian yang sudah di pastikan besar kecilnya yang telah disepakati seluruh fuquha.[ ]Jadi, asabah adalah semua ahli waris yang tidak mempunyai bagian tentu yang telah di atur oleh nash, mereka di antaranya:
a.    Anak laki-laki
b.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c.    Saudara sekandung
d.   Saudara seayah
e.    Saudaranya ayah sekandung
Kekerabatan diantara mereka adalah kuat karena mereka diturunkan melalui garis ayah bukan dari garis ibu. Dari pengertian diatas, dapat di kemukakan bahwa yang di maksud dengan asabah adalah setiap orang yang mengambil bagian semua harta apabila ia sendirian dan mengambil sisa sesudah ashabul furud.
2.      Dasar Hukum Pewarisan Asabah
“Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga”(Q.S.An-Nisa: 11)[ ]

Artinya:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak”(Q.S. An-Nisa: 176)[ ]
Nabi Muhammad SAW bersabda:
اَلحقُوْا الفرائضَ فما بقِيَ فلاولى رجلٍ ذكر
“berilah orang-orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan masing-masing dan kelebihannya diberikan kepada asabah yang lebioh dekat, yaitu orang laki-laki dari yang laki-laki.
3.      Macam-macam asabah dan Penyelesaianya
Lafal asabah digunakan juga kepada kerabat yang terikat dalam hubungan nasab, yang dikenal dengan istilah asabah nasabiyah. Asabah nasabiyah terdiri atas, asabah binafsi, asabah bil ghoir, asabah ma’al ghoir.[ ]
a.      Asabah Binafsi
Asabah binafsi adalah kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan orang yang meninggal tanpa diselingi oleh orang perempuan.
Ketentuan ini mengandung dua pengertian, yaitu antara mereka dengan orang yang meninggal tidak ada perantara sama sekali, seperti anak laki-laki dan ayah orang yang meninggal, serta terdapat perantara, tetapi bukan yang perempuan seperti cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayahnya ayah, saudara sekandung.
Adapun kelompok asabah binafsi antara lain:
    Cabang furu’ orang yang meninggal yaitu (anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah)
    Pokok orang yang meninggal yaitu (ayah, kakek dan seterusnya ke atas)
    Hawasyi atau kerabat orang yang meninggal yaitu (saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, kemudian anak saudara laki-laki seayah terus kebawah)
    Kerabat menyamping yang jauh yaitu (keturunan kakek sipewaris betapapun jauhnya, seperti saudara laki-laki ayah kandung, dan anak laki-laki mereka, saudara laki-laki ayah seayah dan anak laki-laki mereka)[ ]
Adapun bila para 'ashabah bin nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya (pengunggulannya) sebagai berikut:
      Pertarjihan dari Segi Arah
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin nafsih, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dibandingkan yang lain.
    Pentarjihan secara Derajat
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa orang 'ashabah bi nafsihi, kemudian mereka pun dalam satu arah, maka pentarjihannya dengan melihat derajat mereka, siapakah di antara mereka yang paling dekat derajatnya kepada pewaris.
    Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan
Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak 'ashabah bi nafsihi yang sama dalam arah dan derajatnya, maka pentarjihannya dengan melihat manakah di antara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Dalam hal pentarjihan dari segi kuatnya kekerabatan di sini, bahwa kaidah tersebut hanya dipakai untuk selain dua arah, yakni arah anak dan arah bapak. Artinya, pentarjihan menurut kuatnya kekerabatan hanya digunakan untuk arah saudara dan arah paman.[ ]
b.      Asabah bil ghoir
Asabah bil ghoir adalah setiap orang perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadikan asabah dan bersama-sama menerima.
Asabah bil ghoir ada 4 kelompok:
1.      Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).
2.      Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
3.      Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama saudara kandung laki-laki.
4.      Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya.[ ]
Adapun syarat-syaratAsabah bil ghoir:
a.       Perempuan tersebut ahli waris ashabul furud (mempunyai bagian tetap)
b.      Antara perempuan yang mempunyai bagian tetap dengan orang yang meng-asabah kan memiliki tingkatan yang sama.
c.       Orang yang meng-asabahkan harus sama derajatnya dengan perempuan yang mempunyai bagian tetap
d.      Adanya persamaan kekuatan kerabat antara perempuan ashabul furud dengan muasibnya
Penyebutan  asabah bil ghoirdidasarkan pada ketentuan bahwa perolehhnya  bukan karena kekerabatanya mereka terhadap orang yang meninggal dunia, tetepi karena adanya orang lain yang mendapat asabah binafsi.[ ]
c.       Asabah ma’al ghoir
Asabah ma’al ghoir adalah orang-orang yang jadi ‘ashabah bersama orang lain.Asabah ini hanya diberlakukan secara tertentu kepada saudara-saudara perempuan sekandung atau seayah dengan beberapa anak perempuan jika tidak ada saudara laki-laki.Jadi asabah ma’al ghair  hanya terdiri atas saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah.[ ]
Jelaslah dengan demikian asabah ma’al ghoir hanya terdiri dari atas saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah. Kedua orang tersebut dapat menjadi asabah ma’al ghoir dengan beberapa syarat:
a)      Berdampingan dengan seorang atau beberapa orang anak perempuan atau cucu peerempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah.
b)      Tidak berdampingan dengan saudaranya yang menjadi muasib-nya[ ]
4.      Perbedaan antara Asabah bil ghoir dan Asabah ma’al ghoir
Seperti yang telah di jelaskan di atas, jadi dapat diketahui letak perbedaanya, yaitu dalam asabah bil ghoir, selalu ada orang-orang yang memperoleh asabah binafsi, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki, saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Adapun dalam asabahma’al ghairtidak ada orang lain (ahli waris) yang mendapat asabah binafsi.[ ]



BAB III
PENUTUP

Asabah adalah bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab al-furud. Sebagai penerima bagian sisa, ahli waris ashabah terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan), terkadang menerima sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena habis diambil ahli waris ashab al-furud.
Dari pembahasan di atas kita bisa tarik kesimpulan bahwa Asabah menurut ulama ahli Faradiyun adalah ahli waris yang tidak mendapat bagian pasti yang telah ditentukan dalam nash Al-Quran.
Asabah dalam masalah waris dibagi menjadi 3, yaitu:
1.    Asabah bi nafsi
2.    Asabah bil ghoir
3.    Asabah ma’al ghoir













DAFTAR PUSTAKA
1.    Drs. H. Abyan Amir, MA. Dkk, 2003,Fiqih, PT. Karya Toha Putra. Jakarta.
2.    Drs. Khairul Umam Dian, 2006, Fiqih Mawaris, CV PUSTAKA SETIA, Bandung.
3.    H. Rasjid Sulaiman, 1995,Fiqh Islam, PT. Sinar Baru Al-Gensindo, Bandar Lampung.
4.    Ramulyo, Idris M, DR. SH., Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1992.
5.    http:/alislamu.com/muamalah/15-waris/318-bab-asabah.html
6.    http:/media.isnet.org/islam/waris/Ashabah.html


makalah ashobah
Read more »»  

Faraid

A. Pengertian Ilmu Faraidh



kata fara'id (الفرائض) menurut bahasa merupakan bentuk jama' dari kata faridah (الفريضة). Kata ini berasal dari kata fardu (الفرض) yang mempunyai arti cukup banyak. Oleh para ulama, kata fara'id diartikan sebagai al-mafrudah(المفروضة) yang berarti al-muqaddarah (المقدّرة), bagian-bagian yang telah ditentukan. Dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan.

Sedangkan secara terminology maka para ulama memberikan beberapa definisi:

Menurut as-Syaikh Muhammad al-Khatib al-Syarbini:

الفقه المتعلق بالارث ومعرفة الحساب الموصل إلى معرفة ذلك ومعرفة قدر الواجب من التركة لكل ذى حقّ (مغنى المحتاج,3:3 )

"Ilmu fiqh yang berpautan dengan pembagian harta warisan dan pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta warisan tersebut dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta warisari bagi semua pihak yang mempunyai hak".

Menurut Wahbah az-Zuhaily:

قواعد فقهية وحسابية يعرف بها نصيب كل وارث من التركة (الفقه الاسلامى وادلته, 8: 243 )

"Kaidah-kaidah fiqh dan perhitungan yang dengannya dapat diketahui bagian semua ahli waris dari harta peninggalan".

Prof. Hasbi dalam bukunya Fiqhul Mawaris, hlm. 18 mendefiniskan:

قواعد من الفقه والحساب يعرف بها ما يخصّ كلّ ذى حقّ فى التركة ونصيب كلّ وارث منها

Dari rumusan di atas dapat dibuat rumusan Fiqh Mawaris/Hukum Kewarisan, yaitu: "Aturan hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia, siapa saja yang mempunyai hak atas peninggalan tersebut, siapa saja ahli waris dan berapa bagiannya".

B. Urgensi dan Kedudukan Ilmu Waris Dalam Islam

Ilmu waris mempunyai kedudukan yang tinggi dalam islam, hal ini di dasarkan atas adanya beberapa hadist rasulullah yang menunjukkan hal tersebut.



Dari Ibnu Mas'ud, dia berkata: Telah bersabda Rosululloh saw: "Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada manusia. Pelajarilah Faroidh dan ajarkanlah kepada manusia. Karena aku adalah orang yang akan mati, sedang ilmupun akan diangkat. Hampir saja dua orang berselisih tentang pembagian warisan dan masalahnya tidak menemukan sseorang yang memberitahukannya kepadakeduanya"(HR Ahmad).

Dari 'Abdulloh bin 'Amr, bahwa Rosululloh saw bersabda: "Ilmu itu ada tiga macam, dan selain dari yang tiga itu adalah tambahan. (Yang tiga itu ialah) ayat yang jelas, sunnah yang datang dari nabi, dan faroidhlah yang adil". (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Dari Abu Hurairoh, bahwa Nabi saw bersabda: "Pelajarilah Faroidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena Faroidh adalah separuh dari ilmu dan akan dilupakan. Faroidhlah ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku". (HR Ibnu Majah dan Ad-Daroquthni).

Allah SWT juga telah mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai dengan petunjuk dan ketetapan-Nya. Mereka yang secara sengaja melanggar dan tidak mengindahkan ketentuan Allah ini, maka Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka. Tidak hanya itu, tetapi dengan tambahan bahwa keberadaan mereka itu kekal abadi selamanya di dalam neraka. Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis siksaan yang menghinakan.

Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam Al-Quran Al-Kariem. Surat An-Nisaa’ ayat 14

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (An-Nisaa’:14)

Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api neraka.

C. Hukum Waris Sebelum Islam

Hukum kewarisan sebelum islam sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat jahiliyyah. Orang-orang arab jahiliyah adalah tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan berperang, nomaden (pindah-pindah). Ciri-ciri tersebut merupakan kultur yang mapan. Karena itu budaya tersebut ikut membentuk niali-nilai, system hukum dan sistem sosial yang berlaku. sehingga kekuatan fisik pun menjadi salah satu ukuran di dalam system hukum kewarisannya.

Kehidupan mereka sedikit banyak tergantung pada hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsa bangsa yang telah mereka taklukkan, disamping ada juga yang tergantung dari hasil memperniagakan rempah rempah. Dalam bidang mu’ammalah dan pembagian harta pusaka, mereka berpegan teguh kepada tradisi-tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang telah diwarisi dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak anak yang belum dewasa dan perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia. Tradisi menganggap bahwa anak anak yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris. Bahkan sebagian dari mereka beranggapan bahwa janda perempuan dari seseorang yang telah meninggal adalah sebagai wujud harta peninggalan yang dapat dipusakakan dan dipusakai kepada dan oleh ahli waris suaminya.

Banyak sekali riwayat dari para Sahabat yang menceritakan hal itu. Salah satunya adalah Ibnu Abi Thalhah, misalnya mengutip suatu riwayat Ibnu ‘Abbas r.a yang menjelaskan ”bila terjadi seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya dimuka perempuan tersebut, (atas tindakan ini). Maka ia melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut cantik terus dikawininya dan jika jelek ditahannya sampai meninggal dunia untuk kemudian dipusakai harta peninggalannya.

Sebagai bukti bahwa tradisi mewarisi janda simati itu betul-betul terjadi pada zaman jahiliyah ialah tindakan seorang yang bernama Mihsham bin Abu Qais al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia, ia berhasrat mengawini janda ayahnya yang tidak diurus belanjanya. Atas desakan dari calon suaminya yang baru, janda tersebut meminta izin kepada Rasulullah agar diperkenankan berkawin dengan Mihsham.

Disaat itu Rasulullah s.a.w. belum dapat memberikan jawaban spontan. Baru beberapa saat kemudian setelah Allah menurunkan ayat: 19 dari surah An Nisaa’



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا........

“Hai orang orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita

wanita (janda-janda simati) dengan cara paksaan”



Ayat diatas tidak bisa dipahami bahwa mewarisi janda-janda dengan jalan bukan paksaan diperbolehkan. Dalam kaitan ini Allah memberikan penegasan

dalam surah An Nisa’ ayat 22:

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا



“Dan janganlah kamu kawini wanita wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah, dan seburuk buruk jalan (yang ditempuh).”

Akhirnya hasrat Mihsham untuk mengawini janda ayahnya dilarang oleh

Rasulullah setelah menerima wahyu dari Allah, merupakan suatu bukti bahwa

tradisi semacam itu sudah biasa dilakukan oleh orang jahiliyah sebelum datangnya agama islam. Adapun penundaan Rasulullah sampai saat turunnya wahyu yang melarangnya, disebabkan adat tersebut sudah mendarah daging pada mereka sehingga memerlukan petunjuk yang tegas dari Allah.

Adapun dasar-dasar pewarisan pada zaman jahiliyah atau sebelum islam ialah sebagai berikut:

1. Pertalian kerabat

2. Janji prasetia

3. Pengangkatan anak atau adopsi

Sebelumnya ada syarat khusus ialah dimana seorang pewaris atau yang mewarisi adalah laki-laki yang sudah dewasa. Selanjutnya barulah ketiga syarat tadi. Sedang laki-laki yang belum dewasa dan belum bias berperang tidak boleh mendapatkan warisan. Bergitu pula perempuan, mereka sama sekali tidak berhak mendapatkan harta warisan, bahkan mereka menjadi harta warisan.

A. Waris Pada Awal Masa Islam

Pada masa awal islam (periode makkah awal setelah nabi diutus dan awal hijrah) sebab-sebab mewarisi ada yang sama dengan zaman sebelum islam (jahiliyyah) dan ada pula yang di nashk. Yang masih dipertahankan adalah pertalian nasab atau hubungan kerabat, tetapi sudah mengalami pembaharuan yaitu hubungan darah yang dapat mewarisi tidak hanya laki-laki dewasa saja tetapi laki-laki yang belum dewasa dan perempuan pun bisa untuk mendapatkan harta warisan walaupun belum ada ketentuan yang pasti dari al-Qur’an. Yang sudah di nashk adalah karena janji setia. Di awal islam, ada tiga sebab agar mendapatkan harta warisan selain yang sudah dijelaskan diatas, yaitu:

• Tabanni (Adopsi ) atau pengangkatan anak

Saat itu, Rasulullah s.a.w. sebelum diangkat menjadi Rasul, pernah mengambil anak angkat Zaid bin Haritsah, setelah ia dibebaskan dari status perbudakannya.

Karena status anak angkat pada saat itu identik dengan status anak keturunan sendiri, para shahabat memanggilnya bukan Zaid bin Haritsah, tetapi Zaid bin Muhammad. Salim bin ‘Atabah setelah diambil anak angkat oleh shahabat Abu Hudzaifah r.a panggilannya berubah menjadi Salim bin Abi Hudzaifah. Dalam perkembangannya, masalah pengangkatan anak tidak lagi berjalan, karena islam menghapuskannya.

Selanjutnya Allah SWT berfirman dalam al-ahzab ayat 40

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. bukanlah ayah dari salah seorang sahabat, karena itu janda Zaid dapat dikawini oleh Rasulullah s.a.w.

• Hijrah dan muakhkhah

Kekuatan kaum muslimin pada saat itu masih lemah, lantaran jumlah mereka yang masih sedikit sekali. Untuk menghadapi kaum Quraisy yang sangat kuat dan banyak pengikutnya. Sehingga Rasulullah s.a.w. meminta bantuan kepada para penduduk daerah setempat yang berprinsip sama untuk berjuang dalam memberantas kemusyrikan. Setelah itu Rasulullah menerima perintah dari Allah untuk hijrah dari mekkah ke madinah. Disana Rasulullah dan para shahabat disambut dengan gembira oleh penduduk madinah dengan ditempatkan dirumah rumah mereka, dicukupi segala keperluan mereka, dilindungi jiwanya daripengejaran kaum musyrikin Quraisy dan dibantunya dalam menghadapi musuh musuh yang menyerangnya.

Dari deskripsi diatas, pada masa awal awal Islam, hukum kewarisan belum

mengalami perubahan yang berarti. Bahkan didalamnya terdapat penambahan

penambahan yang lebih berkonotasi kepentingan dakwah. Tujuannya adalah

merangsang ikatan persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam.

Pertimbanganya, kekuatan islam waktu itu, dirasakan masih sangat lemah, baik

sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan ajaran ajarannya, yang

masih dalam dinamika pertumbuhan.

Dasar dasar pewarisan yang digunakan pada masa awal islam, adalah:

• Pertalian kerabat

• Pengangkatan anak

• Hijrah (dari Mekkah ke Madinah)

• Ikatan persaudaraan atau al-muakhah antara orang orang Mujahirin

(pendatang) dengan orang orang Anshar (penolong) di Madinah

Hijrah dan muakhkhah sebagai sebab untuk mempusakai itu dibenarkan oleh

Allah dalam firmanNya surah Al-Anfal:72

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Yang dimaksud lindung melindungi Ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang Amat teguh, untuk membentuk masyarakat yang baik. demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung.

Dalam surat al-ahzab ayat 6 pun Allah SWT tegaskan



النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Allah).

Maksudnya: orang-orang mukmin itu mencintai Nabi mereka lebih dari mencintai diri mereka sendiri dalam segala urusan.

Yang dimaksud dengan berbuat baik disini ialah Berwasiat yang tidak lebih dari sepertiga harta.

Yang di maksud “lebih berhak disini” adalah “lebih berhak dalam waris

mewarisi”
Read more »»  

urutan ahli waris

Derajat Ahli Waris
Derajat Ahli Waris

•Ashhabul furudh.

•Ashabat nasabiyah

•Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri).

•Dzawil Arham

•Tambahan hak waris bagi suami atau istri.

•Ashabah karena Sebab.

•Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris.

•Baitulmal (kas negara).



Ashhabul furudh 1/2

suami, dengan syarat tidak ada keturunan dari si mayit

Anak perempuan (kandung), dengan dua syarat:

  (1) tidak ada anak laki-laki, (2) anak tunggal

Cucu perempuan, dengan tiga syarat:

  (1) tidak mempunyai saudara laki-laki, (2) hanya seorang

  (3) tidak ada anak perempuan ataupun anak laki-laki.

Saudara kandung perempuan, dengan tiga syarat:

  (1) tidak ada saudara kandung laki-laki. (2) hanya seorang diri

  (3) Mayit  tidak mempunyai ayah, kakek, keturunan

Saudara perempuan seayah, dengan empat syarat:

  (1) tidak mempunyai saudara laki-laki. (2) hanya seorang diri.

  (3) Mayit tidak mempunyai saudara kandung perempuan.

  (4) Mayit tidak mempunyai ayah, kakek, Keturunan

Ashhabul furudh 1/4

suami, dengan syarat bila Mayit mempunyai keturunan

Istri, dengan syarat apabila Mayit tidak mempunyai Keturunan

Ashhabul furudh 1/8

Istri, dengan syarat apabila Mayit mempunyai Keturunan

Ashhabul furudh 2/3

anak perempuan (kandung) lebih dari satu, dengan syarat tidak mempunyai saudara laki-laki

cucu perempuan lebih dari satu, dengan persyaratan sebagai berikut:

  (1) tidak ada anak kandung.

  (2) tidak ada dua anak kandung perempuan.

  (3) tidak mempunyai saudara laki-laki.

saudara kandung perempuan lebih dari satu, dengan syarat :

  (1) mayit tidak mempunyai keturunan

  (2) tidak ada ayah atau kakek dari mayit.

  (3) tidak mempunyai saudara laki-laki. 

  (4) tidak ada anak /cucu perempuan

saudara perempuan seayah lebih dari satu, dengan syarat :

  (1) tidak ada anak, ayah, atau kakek.

    (2) tidak mempunyai saudara laki-laki seayah.

  (3) tidak ada anak / cucu perempuan

Ashhabul furudh 1/3

ibu, dengan syarat:

  (1) tidak ada anak / cucu.

  (2) tidak ada saudara /saudari lebih dari satu

saudara laki-laki / perempuan seibu, dengan syarat :

  (1) tidak ada anak, ayah atau kakek.

(2) dua orang atau lebih.

Ashhabul furudh 1/6

Nenek dari ibu dan bapak, dengan syarat :

  (1) tidak ada ibu, nenek dari bapak yang lebih dekat

cucu perempuan, dengan syarat :

  (1) tidak ada anak / cucu laki-laki. (2) anak perempuan lebih dari satu.

Ayah, dengan syarat :

  (1) ada anak/cucu laki-laki  (2) anak perempuan lebih dari satu

  (3) cucu laki-laki/perempuan 

kakek, dengan syarat :

  (1) ada anak/cucu laki-laki  (2) anak perempuan lebih dari satu

  (3) cucu perempuan (4) tidak ada bapak

ibu, dengan syarat :

  (1) ada anak/cucu laki-laki (2) anak perempuan lebih dari satu

  (3) cucu laki-laki/perempuan (4) saudara perempuan seibu  (5) bapak

Saudara seibu, dengan syarat :

  (1) tidak ada anak/cucu laki-laki (2) tidak ada anak perempuan lebih dari satu

  (3) tidak ada cucu perempuan (4) tidak ada bapak / kakek

Saudara perempuan seayah, dengan syarat :

  (1) tidak ada anak/cucu laki-laki   (2) tidak ada anak perempuan

  (3) tidak ada cucu laki-laki/perempuan (4) tidak ada bapak / kakek

Read more »»