6 Des 2012

makalah PEngertian Hakim


PENDAHULUAN 1. LatarBelakang System berfikir dalam bidang islam berpangkal pada petunjuk Al Qur’an dan hadits, bahkan kegiatan berpikir untuk menggali hokum atau bidang hukum islam atau bidang lainnya termasuk dalam kategori ibadah. Seperti usaha imam syafi’I merupakan langkah awal pengembangan ilmu ushul fiqih yang kemudian dilanjutkan pembahasannya oleh para ahli ushul fiqih sesudahnya, sehingga menjadi banyak bahasannya. Imam Abu Hamid Al Ghozali (450H-505 H) seorang ahli ushul fiqih dari kalangan syafi’iyah meletakkan pembahasaan tentang hokum bukan pada pendahuluan, melainkan pada bagian pertama dari masalah-masalah pokok yang akan dibahas dalam ushul fiqih. Obyek bahasan ushul fiqih tersebut adalah salah satunya tentang hokum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkumfih, mukallaf dan mahkum ‘alaih. 2. RUMUSAN MASALAH a. Apa pengertian hakaim, mukallaf, mahukum ‘alaih? b. Apa saja ragam-ragam hukum yang di tentukan pada mukallaf? c. Apa syarat-syarat hukum seorang mukallaf?   PENGERTIAN HAKIM, MUKALLAF DAN MAHKUM ‘ALAIH A. Pengertian Hakim Kata hakim secara etimologi berarti Orang yang memutuskan hukum. Dalam kajian ushul fiqh, kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum hukum syariat secara hakiki. Ulama’ ushul fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumbe ratau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah. Hal itu ditunjukkan oleh Al;qur’an dalam surat al-An’am ayat 5 • Menetapkan hokum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. Terdapat perbedaan pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya Rosulullah, atau akal secara independen bias juga mengetahuinya: 1. pendapat yang di kemukakan oleh kaum Asy’ariyah, yang di pelopori oleh Abu Hasan Al asy’ari, berpendapat bahwa hukum-hukum Allah tidak dapat diketahui oleh akal semata-mata. Oleh karna itu, seluruh bentuk perbuatan manusia yang terjadi sebelum diangkat utusan-utusan Allah, tidak ada hukumnya atau tidak ada sangsi. Bagi pelaku perbuatan tersebut. 2. Pendapat dari kaum mu’tazilah, yang dipelopori oleh wasil bin atha, berpendapat bahwa hokum dan syari’at Allah sebelum dibangkitkan, utusan-utusan Allah dapat diketahui oleh akal. Akal dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan karna sifat-sifatnya. Dari keterangan diatas, kaum Asy’ariah yang menjadi sumber hokum hanyalah wahyu Allah dan akal hanya sebagai alat untuk memahami wahyu Allah, sedangkan Mu’tazilah akal menjadi sumber hokum dalam hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-qur’an. B. Pengertian Mukallaf Mukallaf secara bahasa adalah berbentuk isim al-maf’ ûldarifi’il al-mâdli “kallafa” (كَلَّفَ), yang bermakna membebankan. Maka, kata mukallaf berarti orang yang dibebani. Secara istilah, mukallaf adalah: “Seorang manusia yang manaperlakuan yaitu bergantungan dengan ketentuan al-Syâr’i atau hukumnya”. Dari sini, dapat difahami bahwa mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung-jawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Pahala akan didapatkan kalau ia melakukan perintah Allah SWT, dan dosa akan dipikulnya kalau ia meninggalkan perintah Allah SWT, begitu seterusnya sesuai dengan criteria hokum taklîfî yang sudah diterangkan. Mahkum Alaih berarti orang mukallaf (orang yang layak dibebeni hokum taklifi). Dalam hokum syar’I Seseorang baru dianggap layak dibebani hokum taklifi bila mana pada dirinya terdapat beberapa persyaratan : a. Mukallaf dapat memahami dalil taklif, seperti jika dia mampu memahami nash-nash undang – undang yang dibebankan dari al-qr’andan as-sunnah dengan langsung atau dengan perantaraan . karena orang yang tidak mampu memahami dalil taklif, dia tidak dapat mengikuti yang dibebankan kepadanya, dantujuannya tidak mengarah kesana. b. Mukallaf adalah orang yang mengerti dengan sesuatu yang di bebankan kepadanya dan mempunyai kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul beban taklif dan mengerti dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. `~Ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf yaitu hokum taklifi dan hokum wadh’I. Hukum taklifi ada lima macam yaitu: a. Ijab, yaitu firman yang menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. b. Nadb, yaitu firman yang menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti. c. Takhrim, yaitu firman yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. d. Karohah, yaitu firman yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti. e. bahah, yaitu firman yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan. Hukum Wadh’I ada tiga macam yaitu: a. Sebab, yaitu sesuatu yang terang dan tertentu yang dijadikan sebagai pangkal adanya hukum (musabab), artinya dengan adanya sebab, dengan sendirinya akan terwujud hokum atau musabab b. Syarat, yaitu sesuatu yang menyebabkan ada hukum, dan (masyrut). c. Mani’ atau penghalang ,yaitu sesuatu yang adanya menyebabkan tidak adanya hokum atau tidak adanya menjadi sebab bagi hukum. C. Pengertian Mahkum Fih Mahkum Fih yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hokum syar’i. Misalnya dalam Surat al-Maidahayat 1 • Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhi lahaqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakiNya. Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan orang mukallaf yaitu perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat tersebut. ~Syarat-syarat Mahkum Fih. Ada beberapa peryaratan bagi sahnya suatu perbuatan hukum: 1. Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukallaf, sehingga dia dapat mengerjakan tuntutan itu sesuai dengan yang diperintahkan. 2. Diketahui secara pasti tuntutan itu keluar dari orang yang punya kekuasaan menuntut, atau dari orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukallaf. 3. Perbuatan yang dituntut itu adalah perbuatan yang mumkin, masih dalam batas kemampuan manusia. ~Mahkum fih terdiri dari beberapa jenis , yaitu: 1. Wajib, jika dilihat dari tertentu atau tidaknya perbuatan yang diberi pahala jika dikerjakan, dan diberi siksa jika ditinggalkan, dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu wajib mu’ayyan dan wajib mukhayyar. 2. Dilihat dari segi waktu mengerjakannya, ada dua macam wajib yaitu wajib mudhayaq dan wajib muwassa’. 3. Dilihat dari segi pelakunya, wajib dibagi dua yaitu wajib ‘ain dan wajib kifayah. 4. Dilihat dari segi ukurannya atau kuantitasnya, wajib dibagi dua yaitu wajib muhaddad dan wajib ghoir muhaddad.   PENUTUP Kesimpulan  Hakim secara etimologi berarti orng yang memutusan hukum . Sedangkan Ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syari’at adalah Allah.  Mukallaf secara bahasa adalah berbentuk isim maf’ul dari fiil madhi kallafa Sedangkan menurut istilah mukallaf adalah seorang manusia yang mana perlakuannya itu bergantungan dengan ketentuan syara’ atau hukum  Seseorang baru di anggap layak dibebani hukum bila mana pada dirinya terdapat beberapa persyaratan: 1. Dapat memahami dalil taqli seperti jika dia mampu memahami nash-nash undang-undang yang dibebanka dari al qur’an dan As Sunnah dengan langsng atau dengan pelantara. 2. Mempunyai kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul beban taklif.  Mahkum Fih yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syar’i. Saran  Penulis telah berusaha menguraikan pembahasan mengenai hokum tentang ushul fiqh dan pembagiannya dengan pemahaman penulis yang terbatas oleh karena itu makalah masih jauh dari sempurna. Dan untuk mencapai kesempurnaan itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki dengan kajian dengan sempurna. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca khususnya.
Read more »»  

makalah ushul fiqih


Klasifikasi Lafadz dari Segi Jelas Tidaknya Kandungan Makna
Makalah
ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum dosen Pengampu
D.r H. Mashudi, M.Ag.



INISNU



Disusun Oleh :
1.      Lailatul Khasanah
2.      Arif  Makruf




 

INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (INISNU) JEPARA Tahun 2012/2013



KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum Wr.Wb
            Alhamdulillahhirabbil’alamin, Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurah pada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang selalu kita nantikan syafa’atnya di Akhir kelak nanti. Amien..
Penulis berucap Syukur kepada Allah atas limpahan Nikmat sehat-Nya, baik fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis berhasil menyelesaikan pembuatan makalah, sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu ushul fiqh dengan judul “klasikasi lafadz dari segi jelas tidaknya kandungan makna”
Tentunya makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu, penulis mengharapkan kritik-kritik dan saran dari pembaca untuk lebih baiknya makalah ini. Demikian, dan jika terdapat banyak kesalahan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Akhirul kalam......
Wassalamua’laikum Wr.Wb





DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang..........................................................................................
B.     Rumusan Masalah.....................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
KLASIFIKASI LAFADZ DARI JELAS TIDAKNYA KANDUNGAN MAKNA
A.    AZ ZHAHIR.....................................................................
B.     NASH................................................................................
C.    MUFASSAR....................................................................
D.    MUHKAM.......................................................................
E.     KHAFI..............................................................................
F.     MUSYKIL........................................................................
G.    MUJMAL........................................................................
H.    MUTASYABBIH
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.......................................................................
B.     Saran.................................................................................  




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ulama ushul fiqh memagi petujuk yang jelas itu menjadi empat bagian :
Zhahir,nash,mufassar,dan muhakkam
Dalalah (petujuk) yang j elas dari nash adalah  makna yang di tunjukan dari bentuk itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar. Jika nash itu mungkin untuk di takwil, tetapi yang di maksud bukan tujuan asal dari susunan katanya maska disebut dzahir,jika mungkin untuk ditakwil,sedangkan yang di maksud adalah tujuan asal dari susunan katanya maka di sebut nash, jika nash itu tidak mungkin untuk di takwil tetapi hkumnya dapat di nasakh mska di sebut mufassar, dan jika tidak mungkin untuk  di takwil danhukumnya tidak dapat di nasakh maka di sebut muhakkam.
Nash yang tidak jelas petunjuknya yaitu nash yang bentuknya sendiri tidak dapat menunjukan makna yang di  maksud tetapi dalam pemahamannnya membutuhkan unsur dari luar .jika kesamarannya dapat di hilangkan dengan penelitian dan ijtihad maka disebut khafiy atau musykil .jika kesamarannya tidak dapat di hilangkan kecuali dari penjelasan dari syari maka disebut mujmal .dan jika tidak ada kemungkinan sama sekali untuk menghilangkan kesamaran itu maka di sebut  mutasyabih .
Bahwa tingkatan dalalah yang jelas itu berada dalam kejelasannya . dalam kaidah ini kami akan jelaskan tentang  dalalah yang tidak jelas .tingkat ketidakjelasannya dan hal yang di gunakan menghilangkan kesamaran .para ulama ushul fiqh membagi dalalah yang tidak jelas menjadi empat bagian :
al khafi, al musykil,al mujmal, dan al mutasyabih

B.     Rumusan masalah
1.         Bagaimana penjelasan nash yang benar dsan yang jelas dalalahnya.?
2.         Bagaimana penjelasan nash yang tidak jelas dalalahnya.?


















BAB II
PEMBAHASAN
KLASIFIKASI  LAFADZ  DARI  JELAS TIDAKNYA KANDUNGAN MAKNA

Ulama ushul fiqh membagi nash yang jelas dalalahnya kepada empat macam, yaitu :
1.    Zhahir
2.    Nash
3.    Mufassar
4.    Muhkam
Sedangkan di tinjau dari segi kejelasan dalalahnya nash diurutkan sebagai berikut  :
1.    Muhkam adalah yang paling jelas dalalahnya
2.    Mufassar
3.    Nash
4.    Mufassar
Efek perbedaan tingkatan ini akan kelihatan ketika terjadi pertentangan
a.    Zhahir
Zhahir adalah istilah ulama ushul fiqh ialah: sesuatu  yang menunjukan terhadap maksudnya dengan shinggatnya itu sendiri ,tanpa ketergantungan pemahaman maksudnya  itu kepada suatu hal yang bersifat khariji (eksternal),akan tetapi maksudnya itu bukanlah yang dikehendaki yang sebenarnya dari susunan kalimatnya,dan ia mengandung kemungkinan takwil.[1]

Misalnya adalah firman Allah SWT  :

وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ﴿٢٧٥ (
Artinya :
  padahal  Allah menghalalkan  jual beli dan mengharamkan riba ”.
(QS. 2/Al-Baqarah : 275).
Firman Allah tersebut adalah zhahir dalam menghalalkan segala macam jual beli dan mengharamkan segala macam riba ,karena ini adalah makna yang segera dapat di pahami dari kedua lafadz(menghalakan dan mengharamkan ) tanpa membutuhkan suatu qarinah.
b.    Nash
Nash  menurut istilah ulama ushul fiqh  ialah : suatu yang dengan bentuknya sendiri menunjukan makna asal yang di maksud dari susunan katanya dan mungkin untuk di takwil.jika makna itu langsung di pahami dari lafal,pemahamannya tidak butuh faktor luar dan ia adalah makna asal yang di maksud dari susunan kata itu,maka di anggap nash.
Definisi nash menurut al Sarkhasi adalah :  lafadz yang mempunyai derajat kejelasan diatas dzahir dengan qorinah yang menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan dengan sighot sendiri atas makna yang dimaksud dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan takhsis.
Dari definisi ini menjadi jelaslah bagi kita bahwa nash mempunyai dalalah yang jelas sebagaimana dzahir. Pemahaman maknanya tidak bergantung pada petunjuk dari luar sighotnya. Demikian juga makna nash tidak memerlukan penelitian akan tetapi bisa langsung dipahami dengan sighotnya. Nash lebih jelas daripada dzahir. Sebab menjadi lebih jelasnya nash dari dzahir adalah disebabkan qorinah yang terdapat dalam kalam. Seperti firman Allah SWT,
 ذَلِك بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
’’ sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’’
Qorinah ini menunjukkan bahwasannya yang dimaksud dengan konteks ayatواحل الله البيع وحرم الربا  adalah menafikan persamaan antara jual beli dan riba dan menegaskan perbedaan diantara keduanya sebagai bantahan terhadap orang kafir yang mempersamakan kedua jenis transaksi tersebut. Ayat ini yaitu  واحل الله البيع وحرم الربا secara dzahir penghalalan jual beli dan pengharaman riba dan nash terhadap perbedaan diantara keduanya. Qorinah kadang-kadang juga datang setelah kalam sebagai mana yang ada dalam Al Quran,
Hukum nash sama dengan hukum dzahir yaitu wajib melaksanakannya sesuai dengan makna yang langsung dipahami dan konteks kalam dengan mengandung kemungkinan takwil  takhsis dan naskh. Namun apabila kemungkinan-kemungkinan ini tidak bersandar pada dalil maka hukum nash adalah qot’i atau yakin.
c.    Mufassar
Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi : Suatu lafadz yang dengan sighotnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadz tersebut.Al Uddah memberikan definisi : suatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qorinah yang menafsirkanya.
Dari definisi-definisi yang dipaparkan menjadi jelaslah bagi kita bahwa hakikat lafadz mufassar itu:
o  Penunjukannya terhadap makna jelas sekali.
o  Penunjukannya itu hanya dari lafadz sendiri tanpa memerlukan qorinah dari luar.
o  Karena terang dan jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin ditakwilkan.
Contohnya firman Allah tentang had zina                                            
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَة                                           
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”. (QS. Annur 2)

 وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً ﴿٤﴾

004. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,

Masing-masing lafadz yaitu : ((مئة dan ثمانين)) mufassar karena ia adalah bilangan tertentu. Lafadz tersebut tidak mengandung pengurangan dan penambahan.
Dan firman Allah SWT,
  وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ ﴿٣٦﴾
“dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS.at taubah:36)
karena kata kaaffah  (semuanya) meniadakan adanya perkecualian. Banyak sekali materi hukum pidana yang membatasi jumlah hukuman atas tindakan tertentu.juga materi undang-undang perdata yang membatasi bermacam-macam tindakan ,seperti hutang ,hak,atau yang menjelaskan hukum secara rinci yang tidk mungkin untuk di takwil.
Demikain juga setiap kata yang mujmal(global)dalam alquran yang di jelaskan oleh hadist dengan penjelasan yang cukup sehingga menjadi mufassar(jelas/rinci).sedangkan perincian itu sendiri adalah bagian dari jumlah sebagai penyempurnaan selama ia berupa dalil qathi (pasti).
Hukum mufassar harus di amalkan sebagaimana penjelasan terhadapnya ,ia tidak mempunyai kemungkinan untuk di palingkan dari makna lahirnya
d.   Muhkam
Muhkam dalam ulama ushul fiqh ialah :sesuatu yang menunjukan terhadap maknanya yang tidak menerima pembatalan dan penggantian dengan sendirinya,dengan suatu dalalah yang jelas .
Nash muhkam tidak tidak mengandung kemungkinan takwil,artinya memaksudkan makna lain yang tidak dzahir dari padanya,karena nash tersebut telah di perinci dan di tafsirksn dengan suatu penafsiran yang tidak memberikan lagi peluang bagi pentakwilan.
Hukum yang di ambil dari muhkam merupakan hukum yang asasi dari kaidah agama yang tidak menerima pertukaran, seperti menyembah Allah semata-mata ,mengimani kitab dan rasulnya.
 Apabila dzahir dan nash bertentangan ,maka nash di menangkan ,karena nash lebih jelas dari dzahirnya ,dari segi makna nash di kehendaki secara asli dari susunan kalimatnya ,sedangkan dzahir tidaksecara asli dari susunan kalimatnya.oleh karena inilah ,maka dalalah nash lebih jelas dari pada dalalah dzahir ,karena lafadz yang khas (khusus) di menangkan terhadap lafadz yang a’mm (umum) ketika terjadi pertentangan.
Misalnya adalah firman Allah SWT  tentang wanita-wanita yang di haramkan. Dalam QS.An-nisa’ :24 :
واحل لكم ما وراء ذ لكم (النساء  : 24)
 Artinya :
 “.........dan di halakan selain kamu yang demikian”.

 Dengan firman Allah SWT dalam surat an;nisa :3 .
فا نكحوا ما طا ب لكم من النساءء (النساء : 3)

 artinya : “maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat”.
Ayat yang pertama merupakan makna yang dzahir berkenaan dengan diantara yang selain demikian itu .sedangkan ayat yang kedua merupakan nasah dari pembatasan kebolehan menika empat orang istri.karena ayat tersebut bertentangan maka nash di menangkan karena kuatnya dalam kejelasan dhalalahnya ,dan di haramkan mengawini lebih dari empat orang istri.
Apabila nash danmufassar bertentangan .maka mufassar dimenangkan .karena mufassar lebih jelas dalalahnya dari pada nash.
e.    Khafi
Khafi dalam istilah ulama  ushul fiqh ialah:lafadz yang menunjukan ,terkadang dari lafadz penerapan maknanya dalam sebagian satuannya  terdapat kesamaran dan untuk menghilangkannya di perlukan analisis dan pemikiran.
Sebab munculnya kesamaran ini ialah satuan trtentu di dalamnya ada suatu sifat yang melebihi terhadap satuan-satuan lainnya, atau satu sifat berkurang atau mempunyai suatu nama khusus . lafadz ini samar dalam konteksnnya dengan satuanya ,karena pencakupannya terhadap satuan ini tidak dapat dipahami dari lafadz itu sendiri.
Contohnya lafadz (السا ر ق) As-Sariq, artinya yaitu pengambil harta berharga milik orang lain secara tersembunyi dari tempat penyimpanannya.Tetapi untuk menerapkan arti ini kepada sebagian dari beberapa satuan adalah macam yang samar seperti pencopet, dia adalah juga pengambil harta secara terang –terangan dengan menggunakan macam-macam keterampilan atau kelihaian memainkan tangan dan keahlian menghindari pandangan mata orang di sekitarnya.
f.     Musykil
Dalam istilah ulama ushul fiqh ialah fadz yang shiggatnya tidak menunjukan kepada yang di kehendaki dari lafadz itu ,bahkan untuk memprjelas maksudnya haruslah ada qarinah eksternal yang menjelaskan maksudnya
Kemusrikan muncul dalam nash  ,terkadang dari lafadz yang musytarak.karena lafadz musytarak di tetapkan menurut bahasa lebih dari satu makna  .sedangkan dalam shiggatnya tidak terdapat suatu penunjukan kepada makna tertentu yang ditetapkan. Oleh karena itu, maka harus ada qarinah yang eksternal yang menentukan seperti lafadz  al-quru’ dalam firman allah dalam ayat Al-baqarah ; 228
والمطلقات يتر بصن باءنفسئهن ثلا ثة قروء ( البقرة: 224)
artinya : “dan wanita-wanita yang di talak ,hendaklah menahan diri tiga kali quru.
Lafadz tersebut di tetapkan dalam bahasa untuk makna suci dan haidh.manakah dari dua makna itu yang di kehendaki dalam ayat itu ? apaka iddah dari wanita yang di talak bearakhir dari tiga kali haidh atau dengan tiga kali suci.
Imam syafii dan sebagian mujtahid berpendapat bahwa yang di maksud lafadz alquru  dalam ayat ini adalah suci .qarinahnya ialah pentaknitsan isim adad(nama hitungan ),karena hal ini menunjukan bahwasanya yang di hitung adalah mudzakkar .yaitu suci bukan haidh.
g.    Mujmal
Menurut istilah ialah :lafadz yang tidak dapat menunjukan terhadap maksudnya melalui shiggatnya ,tidak ada qarinah lafzhiyyah(tekstual) atau qarinah haliyyah(kontekstual) yang menjelaskannya .jadi sebab kesamaran adalah bersifat lafadz
Di antara  mujmal adalah lafadz – lafadz yang di kutip oleh syari dari makna kebahasaanya  dan di tetapkan untuk berbagai makna bersifat syari secara khusus,Bukan secara bahasa seperti lafadz shalat,zakat,puasa,haji, riba, dan lain sebagainya
Apabila ada lafadz dalam nash syari dari lafdz tersebut ,maka ia mujmal .oleh karena inilah maka datang sunnah amaliyah dan qauliyyah untuk mengintropesikan shalat,menerangksan rukun-rukunnya,syarat-syaratnya dan cara pelaksaanaan ,rasullullah bersabda :
صلوا كما راءيتمونى ا صلى
artinya : ”kukanlah shalat sebagaimana kamu melihatku melakukan shalat’’.
Demikian pula beliau menginterpretasikan zakat,puasa,haji,riba,dan segala sesuatu yang mujmal dalam nash-nash alquran.
Di antara lafadz  yang mudzmal adalah lafadz asing yang di jelaskan oleh nash itu sendiri dengan arti khusus. Seperti lafadz al qari’ah dalam firman allah Swt:
القارعة- ما القارعة- وما ادراك ما القا رعة- يوم يكون الناس كا لفرا ش المبثوث. (القا رعه)
Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran. (QS.. AL Qari’ah; 1-4)
h.    Mutasyabih
Mutasyaabih menurut istilah ulama ushul adalah lafadz yang bentuknya itu sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang di maksud, tidak ada qarinah (alasan pendukung) dari luar yang menjelaskannya dan syari’ dengan ilmunya hanya mencukupkan begitu saja tanpa penjelasan..
Mustasyabih hanyalah di temukan pada tempat-tempat lain dari pafa nash,seperti  potongan-potongan huruf pada permulaan sebagian surat alquran : Alif  Lam Min.Qaf ,Shad,  Ha’, Mim dan seperti ayat-ayat yang dzahirnya bahwaanya Allah menyerupai makhluknya dalam hal bahwa mempunyai tangan,mata dan tempat. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al fath : 10
يدا الله فوق ايديهم . ( اافتتح : 10. )
 artinya : ’’ Tangan Allah di atas tangan mereka ........’’
Takwilnya adalah :kekuasaan Allah berada di atas kekuasaan mereka .
Sedangkan menurut pendapat ulama’ khalaf (modren) adalah bahwa ayat-ayat itu lahirnya adalah mustahil, karena allah tidak memiliki tangan, mata dan bertempat. Dan setiap ayat yang lahirnya mustahil untuk di beri makna, maka ia harus di takwil dan makna harus di belokkan dari makna lahirnya. Kemudian dikeluarkan makna yang di kandung oleh lafaz meskipun dengan cara majas.























BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Nash yang jelas dallahnya ada empat macam :
·      Zhahir
·      Nash
·      Mufasaar
·      Muhkam.
Hukum nash yang muhkam ini adalah wajib di amalkan secara pasti dan bersifat harus untuk di amalkan. Serta tidak mengandung kemungkinan untuk dipalingkan dari dzahirnya dan permasalahanya. Dan muhkam tidak menerima penghapusan.
Apabila dzahir dan nash bertentangan maka yang di menangkan adalah nash. Sedangkan apabila nash dan mufassar bertentangan maka yang dimenangkan adalah mufassar.
Nash yang tidak jelas dalalahnya ada empat macam :
·      Khafi
·      Musykil
·      Mujmal
·      Mutasyabih.

           


B.  Saran

Demikianlah makalah ini kami buat, kami menyadari tentunya makalah ini tak lepas dari kesalahan-kesalahan, baik itu kesalahan tulisan atau kesalahan materi, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari segenap pembaca dan dosen pengampu senantiasa kami harapkan, demi kesempurnaan makalah ini.
















DAFTAR PUSTAKA
Khalaf,prof.Abdul Wahab,Ilmu Ushul fiqh,Semarang:Dina Utama, 1994, Cet. 1


[1] Kaidah kaidah hokum islam Abdul wahhab khallaf hal; 264
Read more »»